0


Raya Haba- Raungan sirine memecah keheningan malam kota Dhaka, Bangladesh, 15 Agustus 1975. Suara sirine itu datang dari iring-iringan truk besar berisi militer.  Konvoi kendaraan sempat berputar-putar di jalanan kota. Sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Pasukan militer langsung melompat turun menuju ke pintu depan. 

Brak…! Pintu rumah itu jebol mereka tendang. Beberapa tentara langsung menerobos masuk. Tak ada kata peringatan apapun. Tujuan mereka cuma satu: memastikan si pemilik rumah dan keluarganya tak bernyawa.

Begitu pintu rumah terbuka, tembakan dari belasan senjata laras panjang milik militer menyalak suram. Suaranya memecah keheningan malam. Selepas suara tembakan itu, delapan tubuh berbaju putih roboh serempak. Tergeletak bersimbah darah.

Salah satu target utama mereka adalah Sheikh Mujibur Rahman, presiden pertama Bangladesh, yang memimpin pemisahan negara itu dari Pakistan pada 1947 hingga tahun 70an. Ia terbunuh pada malam itu.

Tak ada satu pun penghuni rumah yang selamat. Mereka dibantai habis. Gerombolan militer segera melangkah pergi. Jejak sepatu bot mereka membekas di lantai yang masih berlinang darah segar.

Kengerian teror dini hari yang bikin bulu kuduk meriang itu, menyebar cepat sebelum matahari menyapa dari timur ke penjuru Bangladesh.

Di tempat yang jauh, ribuan kilometer dari Dhaka, kabar pembantaian itu segera diketahui putri sulung Presiden Mujibur Rahman, Sheikh Hasina Wajed, melalui sambungan telepon. 

"Hati saya hancur ketika Duta Besar Bangladesh di ujung telepon mengatakan ayah dan saudara saya tewas dibunuh," kata Sheikh Hasina dengan mata berkaca-kaca dalam sebuah wawancara bersama Al Jazeera.

Saat pergolakan politik di Bangladesh pada pertengahan tahun 70an dan puncaknya kudeta berdarah yang dilakukan perwira militer terhadap Presiden Sheikh Mujibur Rahman, Sheikh Hasina memang tengah berada di Jerman. 

Yang membuat perasaan Sheikh Hasina makin pedih, ia tak bisa pulang ke negeranya untuk melihat langsung jasad sang ayah dimakamkan. Militer melarang ia kembali. Jika nekat pulang, itu artinya ia siap dibunuh.

Sheikh Hasina baru bisa kembali ke Bangladesh enam tahun kemudian. Pada tanggal 17 Mei 1981. Saat itu ia hanya bisa terpaku melihat makam sang ayah. Air matanya sudah kering. Tak ada lagi isak tangis yang dia keluarkan.  

Di makam ayahnya itu, wanita berkerudung ini tak lupa mengirim doa agar ayahnya tenang di sisi Allah. Sebelum melangkah pergi, dalam hati ia bersumpah  untuk melanjutkan perjuangan ayahnya. 

Baginya 'balas dendam' terbaik bukanlah membalas dengan membunuh. Ia sadar, sang ayah justru tersenyum jika melihat rakyat Bangladesh hidup sejahtera. 

Perjuangan Sheikh Hasina mewujudkan tekad itu bukanlah perkara mudah. Bukan seperti membalik telapak tangan. Apalagi di dunia politik. Keluar-masuk bui pun harus ia jalani karena lantang mengkritik pemerintah yang tiran. 

Sampai pada puncaknya, ia menjadi perdana menteri perempuan kedua Bangladesh yang kemudian dinobatkan sebagai salah satu dari "100 Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia" oleh majalah Forbes. 

Seperti apa perjuangan Hasina?

Tugas yang dihadapi memang tidak mudah. Bahkan, terbilang sangat berat. Wanita berkacamata air itu harus mampu menakhodai 'kapal Bangladesh' yang sudah rusak di sana-sini akibat kemiskinan dan korupsi.

Tercatat sekitar 40 persen dari 140 juta penduduk Bangladesh berpenghasilan kurang dari satu dolar AS per hari. Ini adalah tantangan utama yang harus segera ditangani. 

Tapi perlahan ia memulai pembangunan. Hingga akhirnya terpilih lagi menjadi Perdana Menteri pada 2009 hingga sekarang. 

Namun wanita yang dijuluki 'macan betina' Bangladesh harus pula mewaspadai masalah ketidakseimbangan kekuasaan yang bisa menjerumuskan negara ke dalam disfungsi politik. 

Solusi yang mungkin dilakukan adalah merangkul kubu oposisi. "Anda bisa melancarkan hasutan anti-pemerintah. Tapi pastikan orang tidak terbunuh oleh gerakan Anda," komentar Hasina menanggapi aksi kelompok anti pemerintahan.

Sebagai perempuan dengan karir politik yang membentang lebih dari empat dekade, Sheikh Hasina adalah anggota Council of Women World Leaders, jaringan internasional yang beranggotakan presiden dan perdana menteri wanita.

Dia juga penerima Peace Tree Award dari UNESCO pada 2014 atas komitmennya terhadap pemberdayaan perempuan dan pendidikan anak-anak perempuan. 

Dikutip dari Times of India pada 2009, Sheikh Hasina bersumpah akan meningkatkan jumlah perempuan di parlemen hingga menjadi 100 orang.

Begitulah cerita Sheikh Hasina. Melalui pengalaman pahit hidupnya, ketika ayahnya ditembak mati oleh militer akibat perebutan kekuasan berdarah di rumahnya sendiri, ia berhasil bertahan menjadi penyintas (survivor) politik. 

Ketika ia berhasil berkuasa, ia tak menggunakan kekuasaan di tangannya untuk melakukan balas dendam politik. Keteguhan sikapnya telah membuatnya menjadi pemimpin yang didukung penuh cinta oleh rakyatnya secara demokratis. Selama tiga periode. Sekaligus mengukuhkan perannya sebagai politisi wanita muslim paling berpengaruh di dunia saat ini…

Sumber: Dream.co.id

Post a Comment

 
Top